Profesi Unik Warga Dua Desa
RUMAH MEWAH BERASAL DARI BAU PESING
Dua desa ini sungguh unik. Yang satu sebagian besar pria menjadi tenaga tukang pijat, desa yang satu lagi sebagian besar warganya mengurusi WC umum. Tampaknya sepele, namun dua usaha sangat menjanjikan.
Desa tukang pijat itu berada di tanah Warung Banten, kawasan Cikotok, Jawa Barat. Di tahun 1970-an di tanah, sebagian besar masyarakat di sana merupakan petani miskin dan pencetak gula aren. Sebagai petani penggarap, hasilnya hanya pas-pasan. Jangankan untuk biaya pendidikan, untuk menutupi kebutuhan makan saja terkadang kewalahan.
Di tengah situasi sulit, Rasta mendobrak kehidupan desa dengan beralih menjadi pemijat. Bapak sembilan anak ini melakukan road show dengan menjadi pemijat keliling pasar di Warung Banten dan kawasan Cikotok. Usaha Rasta yang tahun lalu meninggal dilirik warga lain karena hasilnya memang lumayan.
Rasta pun tak keberatan menularkan ilmunya pada orang lain. "Pak Rasta tak pernah mengajak warga menjadi pemijat. Tapi, ada satu dua orang yang ikut. Akhirnya, menular ke warga lain," kisah Rasidi (50), anak nomor lima Rasta.
Menurut Rasidi, semakin banyak warga yang mengikuti jejak Rasta. Daerah operasi pijat mereka semakin luas. Mulai dari Pandeglang, Rangkasbitung, lalu masuk Jakarta. "Sekarang sudah menyebar ke seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bogor dan Sukabumi," kisah Rasidi yang mengikuti jejak ayahnya.
Pria yang pendidikannya hanya kelas 3 SD ini menambahkan, sebagian besar lelaki di desanya kini menjadi tukang pijat. Awalnya mereka mendapat ilmu teknik memijat dari Rasta. "Seseorang yang belajar pada Pak Rasta, cukup butuh waktu selama dua minggu. Setelah itu, mereka bisa langsung praktik."
Teknik mengajarnya, lanjut Rasidi, Rasta memijat anak didiknya. Setelah itu, sang anak didik diminta untuk memijatnya, sesuai teknik yang diajarkan. "Nah, saat dipijat itulah Bapak memberi tahu cara memijat yang enak. Bapak berulang kali memberi tahu sampai anak didiknya mahir," papar Rasidi.
Rasidi mengakui, teknik pijatan Rasta hanya untuk mengobati rasa lelah dan pegal saja. Sekarang, ada penerus yang keahliannya melebih Rasta. "Misalnya saja ada yang sanggup mengobati orang keseleo. Ada juga yang bisa pijat refleksi. Itu, sih, orang-orang pilihan saja," tutur Rasidi yang sehari pernah memijat sampai 30 orang.
Rasidi mengaku hanya sanggup memijat untuk capek. "Makanya rezeki saya begini saja," ujar Rasidi merendah. Uniknya, lanjut Rasidi, warga yang dapat ilmu dari Rasta, tak melupakan jasa sang guru. Meski Rasta sudah meninggal, para anak didik tak melupakan jasanya.
Bahkan, mereka yang jumlahnya sudah lebih dari 700 orang itu, memberi "royalty" kepada Ny. Junasah (65), istri Rasta. "Jumlahnya memang tak besar, antara Rp 1 000 hingga Rp 5 000. Yang penting ikhlas. Uang diberikan saat Hari Raya atau Maulud."
Para pemijat dari Cikotok ini banyak yang mengadu nasib di Jakarta. Mereka tinggal di rumah kontrakan secara berkelompok. Misalnya saja di kawasan Pamulang, Kebayoran Lama, Cileduk, Poncol. Saat menjajakan jasanya, ada yang bersepeda ada pula yang jalan kaki.
Pemijat yang usianya 15-60 tahun ini biasa beroperasi pada malam hari dengan kaleng berisi batu kecil di tangan sebagai tanda tukang pijat. Mereka masuk kampung ke kampung, tapi ada yang mangkal di pasar. Biasanya mereka pulang ke rumah kontrakan yang disewa Rp 300 ribu-Rp 500 ribu per bulan, menjelang pagi.
Salah satu pemijat yang tinggal di rumah petak di Kebayoran Lama adalah Dandi (25). Ia sudah menekuni profesi ini lebih dari lima tahun. Selama menekuni usahnya, lelaki yang akan menikah tahun depan itu, sudah memiliki sepeda motor. ''Saya butuh motor untuk keperluan pulang kampung dan menemui pelanggan,'' papar Dandi.
Menurut Dandi, setiap memijat, ia mendapat uang jasa antara Rp 25 ribu - Rp 50 ribu. Dalam sebulan, ia bisa mengantongi penghasilan tak kurang dari Rp 1 juta. Bila uang terkumpul, ia biasa pulang kampung. "Di situlah kemerdekaan pemijat. Kapan saja bisa pulang kampung tanpa harus izin atasannya. Biasanya, teman-teman pemijat pulang kampung tiga minggu sekali. Paling lama, mereka di kampung satu minggu'' jelasnya.
Alasan lebih bebas inilah Dandi memilih jadi tukang pijat daripada buruh pabrik atau petani. "Dengan jadi pemijat, tak ada waktu yang mengikat. Pendapatan kami pun tak kalah dengan buruh pabrik,'' tandas Dandi bangga
Hasil sebagai pemijat bagi Asnaan memang menjanjikan. Asnaan (41) yang jadi pemijat sejak tahun 1987, sanggup menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan, anak pertamanya sudah lulus kuliah. "Dia lulus D3 mengambil ilmu keagamaan. Sekarang dia sudah mengajar di Aliyah dan Tsanawiyah. Anak saya kedua sudah masuk SMP, sedangkan anak ketiga serta keempat masih SD," papar Asnaan.
Meski demikian, tutur Asnaan, perjuangan pemijat tak begitu gampang. Namanya saja rezeki, tak ada yang bisa menduga kapan datangnya. Bahkan, ada masa sepi. "Saya pernah beberapa malam sudah keliling jauh, sampai beberapa kali melewati kuburan, tak ada yang dipijat juga, '' ungkapnya.
Sebaliknya, suatu kali rezeki datang mengalir. Sehari bisa langsung dapat order dari beberapa orang. "Semua tergantung rezeki," ujar Asnaan yang sebulan bisa dapat penghasilan antara Rp 1,5 - 2 juta. Dari penghasilannya itu, Asnaan bisa menyisihkan uang untuk kredit sepeda motor. "Empat bulan lagi sudah lunas," ujarnya bangga.
Uniknya, terkadang Asnaan tak perlu keliling naik sepeda untuk mendapatkan pelanggan. Ada pelanggan yang memanggil lewat HP-nya yang selalu stand by. "Semua tukang pijat di sini bawa HP. Meski bawa minyak urut dan kaleng kerencengan, HP juga penting. Terkadang saya SMS langganan kalau dia lama tak pijat," ujar Asnaan.Pengakuan Asnaan dibenarkan Ace (50) rekan seprofesi yang tinggal satu rumah. Lewat HP semua bisa praktis. "Tentu beda banget dengan tahun 1987 saat saya mengawali karier sebagai tukang pijat. Dulu, saya harus keliling kompleks perumahan. Waktu itu, sekali pijat saya dapat upah Rp 500."
Berkat ketekunannya bekerja, Ace juga sanggup menyekolahkan anak-anaknya. Anak pertamanya sudah lulus D3. ''Sekarang dia sudah bekerja di perusahaan farmasi di Jakarta, saya tetap saja memijat. He he he," ujar Ace sambil tersenyum.
Demi menyisihkan uang, para pemijat ini harus hidup berhemat. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang sederhana. Mereka tidur hanya beralaskan tikar. ''Kalau tak begitu, mereka tak bisa ngebanda. Hanya saya yang dari dulu tak maju-maju. Dari hasil mijat, ada saudara saya yang sudah bisa membeli mobil kijang. Rumah-rumah mereka di kampung halaman juga sudah bagus, " timpal Rasidi.
PENGHASILAN UTAMA
Lain Cikotok, lain lagi Desa Kiara Jangkung, Kecamatan Sukahening, Kabupaten Tasikmalaya. Sebagian besar warga Kiara Jangkung memilih profesi sebagai pengusaha WC umum. Hasilnya, ternyata sangat menggiurkan. Saat NOVA bertanda ke sana, rumah-rumah terlihat mewah dan megah dibanding warga desa lainnya. Beberapa kendaraan bermotor roda dua dan empat pun terparkir di garasi rumah.
Menurut Endang Sambas (49), PLH (Pelaksana Tugas Harian) Kepala Desa Kiara Jangkung, beberapa orang warganya memang menekuni "bisnis pesing" yang awalnya dianggap remeh. "Sudah jadi rahasia umum, untuk Kabupaten Tasikmalaya, orang sini banyak jadi pengusaha WC umum," katanya.
Menurut Endang, usaha ini berawal di tahun 80-an. Pembuka bisnis ini adalah almarhum H. Uju Juandi. "Setelah pensiun dari kerjaannya sebagai polisi, beliau bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta membuat beberapa WC umum. Tak disangka, usahanya sukses. Sehingga beberapa warga asli desa ini mulai membuka usaha yang sama."
Diakui Sambas, ia pernah menjadi penjaga WC umum tahun 1986. "Awalnya lahan ini tidak begitu menarik bagi saya. Begitu saya berhenti SMEA karena keterbatasan biaya, saya mulai melirik bidang ini. Saya bekerja di PT. Karya Amanah Indah dan ditempatkan di terminal Blok M dan pernah juga di Pulogadung," ujar Endang yang tiga tahun menjadi penjaga WC umum. "Saya berhenti karena diangkat menjadi sekretaris desa."
Ternyata, memang banyak warga yang tertarik menekuni profesi ini. "Bagi sebagian warga, penghasilan dari WC umum ini menjadi sumber penghasilan utama. Sekitar 30 persen warga terserap dalam pekerjaan ini."
Bahkan, menurut Endang banyak warganya yang sukses. Mereka membuat perusahaan yang mengelola WC umum, berlandaskan hukum. Antara lain berbentuk PT atau CV. "Misalnya PT. Karya Amanah Indah, CV. Patra Kelana, CV. Prima Utama, CV. Kiara dan CV. Galunggung Jaya. Alhamdulillah sekarang semakin banyak manfaatnya," ungkapnya bersyukur.
Manfaat yang mudah terlihat adalah usaha ini berhasil menjaring warganya yang tidak dapat meneruskan sekolah. "Dengan bekerja di salah satu perusahaan itu sebagai penjaga WC umum, mereka bisa mendapatkan penghasilan. Sehingga bisa membantu ekonomi keluarganya. Buktinya, jumlah kepemilikan kendaraan bermotor roda dua atau roda empat bertambah setiap tahun."
Endang ikut berbangga karena warganya sudah tersebar jauh dari kota kelahirannya. "Orang sini ada yang mengelola WC umum di Bengkulu, Padang, Merak, sampai ke Bali. Lihat juga di terminal-terminal di Jakarta, yang mengelola WC umum sudah pasti orang Kiara Jangkung, Tasikmalaya."
Sumber : http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=11297&no=2
Sumber : http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=11297&no=2
<>, Edwin Yusman F.
FOTO-FOTO: Edwin Yusman F., Daniel Supriyono
FOTO-FOTO: Edwin Yusman F., Daniel Supriyono
0 komentar:
Posting Komentar